Minggu, 28 Desember 2008

DARI GURU UNTUK GURU


Dari beberapa penelitian dan informasi dari berbagai sumber menjelaskan bahwa guru merupakan salah satu faktor terpenting dalam upaya meningkatkan kemampuan siswa. Tingginya kualifikasi guru dapat memaksimalkan kemampuan dan potensi siswa untuk menemukan standar prestasi akademik yang tinggi. Hakikinya adalah guru yang baik sangat dibutuhkan untuk mendekatkan kesenjangan pencapaian kemampuan siswa dan menjamin bahwa tidak ada siswa yang tertinggal dalam belajar. Untuk meningkatkan kualifikasi guru agar lebih profesional sudah saatnya memanfatkan teknologi komunikasi dari Guru Untuk Guru ( GUG ). Upaya ini harus didukung oleh upaya-upaya yang dilakukan guru di kelas yang berasal dari berbagai tempat yang sudah dapat dibuktikan bahwa apa yang dilakukan mampu untuk mengurangi kesenjangan pencapaian belajar siswa secara maksimal. Upaya-upaya yang dilakukan dikelas diteruskan dalam sanggar kerja pengembangan profesi, sanggar kerja yang menggunakan teknologi komunikasi yang maju, atau juga berbagi informasi baru melalui email.
Jabatan guru sebagai sebuah profesi harus selalu didorong oleh kemauan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, tetapi kadang bahkan sering kali seorang guru tidak memiliki kesempatan yang sama dengan guru yang beruntung untuk mengikuti diklat dan workshop yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Hal yang demikian terjadi untuk waktu yang begitu lama sehingga ketika seorang guru dituntut untuk mengikuti uji kompetensi maka hasil uji kompetensi sempat membuat tercengang dari berbagai kalangan. Guru dicap tidak layak karena nilai yang diperoleh dibawah standar. Disadari atau tidak, sebetulnya sangat tidak adil ketika seorang guru yang lulus dari pendidikan guru atau perguruan tinggi sekian tahun yang lampau dengan pengetahuan yang mereka peroleh tetap sama dengan ketika mereka mengikuti uji kompetensi sementara mereka tidak pernah berkesempatan meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk menyesuaikan dengan kurikulum yang selalu berubah karena perkembangan jaman serta pengaruh teknologii informasi dan komunikasi global. Perubahan kurikulum yang terlalu cepat, dari kurikulum 2004 atau KBK menjadi kurikulum 2006 atau KTSP sangat menyengsarakan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Hal ini perlu diperhatikan karena proses transformasi tentang perubahan kurikulum 1999 menjadi kurikulum 2004 itu berjalan lambat sesuai dengan hirarki. Apa yang sudah disampaikan dari pusat tentang kurikulum tersebut tidak serta merta diketahui oleh guru sebagai pelaksana ( bukan guru yang mengikuti diklat/workshop ). Sebagai ilustrasi bisa digambarkan sebagai berikut: kurikulum 2004 akan mulai diberlakukan dengan proses transformasi , guru dari propinsi mengikuti diklat tingkat nasional atau mungkin tenaga bukan guru dalam hal ini dosen perguruan tinggi. Setelah itu dalam jangka waktu yang agak lama mengundang guru dari kabupaten ke propinsi yang jumlahnya terbatas, yang terakhir adalah ada beberapa guru yang mengikuti workshop tingkat kabupaten untuk menularkan kepada rekan-rekanya di sekolah.
Untuk mengetahui dan memahami tentang kurikulum baru butuh waktu lama, melalui dialog dan diskusi bahkan kadang melalui perdebatan yang sengit tentang persepsi terhadap hal-hal baru yang sama-sama belum dipahami secara mendalam karena proses transformasi yang masih mentah. Melalui proses yang panjang guru mulai agak memahami tentang kurikulum 2004, yang kemudian tiba-tiba muncul kurikulum 2006 atau KTSP. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya proses pengulangan dari nol lagi. Kurikulum memang harus selalu berubah tetapi yang terpenting adalah substansinya bukan kulitnya. Ada beberapa kawan yang kadang berseloroh, tentang perubahan nama SMP diganti SLTP, kemudian diganti lagi menjadi SMP terus dari semester diganti cawu lalu diganti lagi menjadi semester. Ini merupakan pemborosan tenaga dan pikiran. Mudah-mudahan pengembang kurikulum dalam hal ini Balitbang dan Puskur tidak lagi berpikir untuk merubah nama. Itu kalau mereka ingat kata William Shakespeare, apalah arti sebuah nama sehingga tidak perlu bolak balik ganti nama atau istilah.
Dari apa yang diuraikan diatas bisa kita renungkan lagi bahwa proses peralihan informasi yang lama dan dan berjalan lambat turut menentukan proses peningkatan profesionalisme guru sehingga tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Untuk itu manfaatkanlah teknologi komunikasi dan informasi untuk saling berbagi informasi tentang pembelajaran di kelas yang nyata-nyata efektif siapa tahu berguna bagi orang lain. Dengan cara demikian guru tidak harus menunggu bahkan mencari kesempatan untuk berpartisipasi mengikuti diklat-diklat. Tetapi guru secara proaktif dengan insiatif sendiri mencari cara supaya terjalin komunikasi secara luas dalam lingkup negara kita Indonesia bahkan kalau perlu lingkup dunia. Yang dibutuhkan adalah informasinya bukan caranya. Ada yang setuju untuk menjalin komunikasi dari Guru Untuk Guru ( GUG ) ? yakinlah bahwa pemerintah akan memfasilitasi insiatif dari guru dalam rangka peningkatan profesiolisme secara berkelanjutan. Sekali lagi, HIDUP GURU !!!!

Digital Education's Mungkinkah ?

DIGITAL EDUCATION's mungkinkah ?

Berdasarkan berita dari berbagai media dan penjelasan dari instansi yang terkait dengan dunia pendidikan di Indonesia dapat diketahui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari angka standar kelulusan yang masih sangat rendah yaitu dengan batas nilai rata-rata kelulusan 5,25 pada tahun 2009 dinaikan menjadi 5,50 ( berdasarkan kriteria kelulusan untuk SMP/MTs ). Angka tersebut walaupun ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ). Angka ini masih dibawah nilai rata-rata kebanyakan negara-negar di Asia. Untuk meningkatkan dan menjamin mutu pendidikan di Indonesia maka Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan ( LPMP ) antara lain menyelenggarakan program sertifikasi guru dalam jabatan melalui penyusunan portofolio, melalui jalur pendidikan profesi maupun Pendidikan Latihan profesi Guru ( PLPG ) bagi yang tidak lulus melalui jalur portofolio. Tujuanya adalah meningkatkan profesionalisme pendidik atau guru sesuai dengan amanat UU No 14 tahun 2005 tentangUndang-Undang Guru dan Dosen.

Mutu dan kualitas “ pendidikan di Indonesia yang masih rendah “ ( belum bermutu dan belum berkualitas ). Siapa yang dianggap paling bersalah ? Yang pertama, kali disalahkan adalah lembaga pendidikan yang menjadi penyelenggara pendidikan tertentu yaitu satuan pendidikan yang menghasilkan lulusan. Yang kedua, guru dianggap memiliki andil yang besar terhadap mutu lulusan dalam pendidikan di Indonesia, sehingga Departemen Pendidikan nasional memandang perlu untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya agar dapat memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

Sebagai guru sekaligus sebagai pendidik sudah seharusnya menyambut program pemerintah dalam rangka peningkataan ( perbaikan ? ) mutu pendidikan dengan meningkatkan kualitas pengetahuan dan pengalaman baik melalui bacaan, seminar, diklat-diklat atau yang lainya agar tidak ketinggalan jaman di bidang intelektualitasnya. Salah satu alternatif yang bisa dijadikan media pengembangan kemampuan intelektual dan kompetensi pendidik adalah melalui layanan internet. Tetapi apakah itu mungkin ? karena tidak semua personal mau mengenalkan dirinya terhadap berbagai kemudahan yang ditawarkan melalui dunia maya untuk menambah pengetahuan, dengan satu kali klik saja maka jendela dunia sudah terbuka lebar.

Dari yang saya baca dan telusuri melalui internet, di beberapa negara yang sudah maju guru dengan mudah mengakses layanan yang sangat dibutuhkan guru atau calon guru seperti educationamerican.net. Job Search, serta berbagai layanan ebook sebagai refensi dan banyak sekali layanan non pemerintah yang berbicara tentang pendidikan pada umumnya dan tentang guru pada khususnya. Di Indonesia saya yakin sudah banyak terdapat layanan internet milik pemerintah seperti Depdiknas, Jardiknas dan yang lainya. Keberadaan layanan internet tersebut belum diketahui secara luas baik bagi guru maupun siswa karena tidak semua sekolah memiliki sarana untuk mengakses. Apabila semua sekolah sudah memiliki fasiltas yang memadai untuk itu maka bukan tidak mungkin Digital Education's ( Pendidikan secara Digital ) bisa dilaksanakan. Guru akan memiliki kelompok blog tentang guru sehingga dengan mudah bisa berkomunikasi dengan sesama guru untuk berbagi pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh baik yang dialami sendiri atau merupakan pengalaman orang lain akan sangat membantu terhadap bidang kerjanya. Mari kita coba untuk membentuk , ‘’ BLOGGURU’’ agar bisa saling bertukar pengalaman dan informasi melalui pendidikan secara digital ( Digital Education's ).

Salam hormat.

Kalau bukan guru yang BUAT , “ SAPA MANING